Minggu, 05 Mei 2013

Theo F T. Salah Satu Pioneer Valas Indonesia


Theo adalah salah satu trader sukses dari Indonesia yang kisahnya akan kami angkat diblog ini . The berpendapat bahwa “jika judi nasib pelaku 100% tergantung pada kartu, “Di pasar uang ada hal-hal yang bisa diperhitungkan dan dicarikan peluang.” Menurutnya, ada beberapa faktor untuk betul-betul memahami bisnis trading, antara lain adalah lobi termasuk kemampuan berbahasa, dan faktor informasi.
Bisnis di pasar uang memang menggiurkan. Namun, bisnis di pasar uang juga dapat berisi penuh kekecewaan. Karena apa? It’s about money. Orang-orang hanya tergiur melihat angka, dan mereka ramai-ramai bermain tanpa mempelajari tatanan dan seluk beluknya terlebih dahulu. Di samping itu, keserakahan manusia yang langsung menginginkan untung besar dan selalu untung membuat resiko kekecewaan itu makin besar, sehingga pemahaman awal dan latihan mental dalam trading sangat diperlukan.
Theo berpendapat bahwa, setelah perang dingin reda dan komunisme runtuh, tak ada lagi kekuatan yang punya daya penghancur sangat dahsyat selain uang. Ketika uang menjadi komoditas, dampaknya global. Bencana keuangan di suatu negara segera bisa merembet ke negara lain. Siapa sekarang orang kaya di kawasan krisis yang merasa terjamin hingga 7 keturunan? Tak terbayangkan, uang bisa berlipat kali atau hancur sama sekali hanya dalam hitungan hari bahkan jam. Masih menurut Theo, jika ditarik dari dimensi filosofis, dia mengungkapkan bahwa krisis ekonomi terjadi adalah akibat ulah manusia yang menganggap uang sebagai ideologi.
Theo lahir di Manado, 21 September 1956. Awalnya ia berangan-angan jadi pastor, tetapi kemudian ia dikeluarkan saat naik ke kelas 3 Seminari Menengah Tomohon tahun 1974. Anak ke-4 dari 7 bersaudara ini sama saja dengan ayah, paman, para sepupu, dan saudaranya, yang pernah masuk ke seminari namun gagal jadi pastor. “Saya menanggung harapan besar, nilai dan aktivitas sekolah bagus. Maka ibu terguncang dan jatuh sakit ketika saya keluar,” kenangnya. Pastor pembimbingnya saat itu mengatakan bahwa ia akan lebih sukses hidup di luar biara. Kendati sedikit menyesalkan keputusan itu, Theo kemudian berbalik haluan. Ia melamar ke Bank Indonesia dan diterima di BI cabang Surabaya. Setelah 2 tahun ia bekerja, timbul keresahan di antara teman-temannya yang cuma berijazah SMA. Sebab dengan begitu, mereka tak mungkin bisa masuk jajaran staf. “Nggak bakal pakai dasi dong seumur-umur,” papar Theo mengenang.
Nampaknya BI tanggap pada kegalauan itu, dan kemudian mengadakan seleksi untuk promosi, di mana peserta yang lolos akan disekolahkan sejajar dengan Universitas. Selanjutnya 4 orang lulus, dan salah satu diantara 4 orang itu adalah Theo. Dengan total keseluruhan yang lolos se Indonesia berjumlah 60 orang. Peserta yang lolos kemudian dimasukkan ke Pendidikan Ahli Administrasi dan Keuangan Bank di Jakarta dan menjalani pendidikan maraton dari pukul 08.00 – 17.00 setiap hari dengan fasilitas penuh, selama 3 tahun. “Gelarnya sejajar akuntan, tapi BI nggak kasih gelar, takut kami keluar.” Ungkapnya.
Setelah lulus dari sanan Theo bekerja di bagian pengawasan BI selama setahun, kemudian ia kembali mengikuti seleksi intern guna ditempatkan di London. Dari 40 peserta hanya Theo yang lulus. Di London, Theo langsung menjadi staf termuda pada usia 23 tahun. Kesempatan di sana itu ia gunakan untuk mengikuti serangkaian pelatihan dan praktik, diantaranya adalah belajar valas di Paris, London, Amsterdam, dan Kopenhagen, mempelajari bank sentral di Denmark dan Belanda, menggeluti cadangan emas di Swis, juga duduk dan bermain di banyak ruang transaksi valas. “Waktu itu kepala dealing room Jakarta pindah, jadi saya disiapkan untuk menggantikannya. Saya sadar, untuk jadi dealer harus punya pengalaman dan cakrawala dengan duduk di pusat keuangan dunia.” Ungkapnya. Penempatan dealer di BI sebenarnya bertujuan untuk mengelola cadangan devisa sejumlah AS $ 6 miliar dengan menempatkannya di posisi yang tepat, dan bukan untuk memperdagangkannya. “untuk itu, maka di luar jam kerja, saya main margin trading atas nama pribadi, bukan BI.” Ujar Theo.
5 tahun Theo bermukim di Inggris. Sebenarnya, ia ingin pulang ke tanah air, namun pemerintah Inggris mengetahui reputasinya dan memberi izin tinggal tetap dan bisa bekerja apa saja. Kemudian selanjutnya ketika Theo benar-benar pulang ke Indonesia, ia sekaligus minta izin keluar dari BI untuk masuk ke London School of Economics (LSE) dengan tujuan sebagai batu loncatan untuk dapat bekerja di Bank Dunia atau IMF. Tujuan tersebut kemudian berubah haluan ketita ia keasyikan bermain valas dan membuatnya menjadi malas bersekolah. Dia berkata “jiwa saya player, jadi saya tak jadi masuk LSE meskipun sudah diterima. Saya main valas terus, dan ingin menikmati hasilnya. \”
Pada pertengahan 1980-an, main margin trading modal dengkul masih berlaku, di mana dengan modal yang dipinjamkan kalau mendapatkan untung dapat masuk kantong sendiri. Sehingga, pada masa itu, tak sulit mereguk untung lantaran pasar gampang diterka. Memasuki tahn 1987, peluang meraup keuntungan makin sulit. Selain pemain makin banyak, modal pun mulai diatur, dan saat itulah Bank Duta terpuruk karena permainan valas.
Soal kesempatan meraup untung memang tak ada yang lebih cepat daripada main valas. “Saya masih ingat, hanya dengan mengangkat telepon dari vila di Puncak sambil main gaple dan makan pisang goreng, bisa dapat AS $ 60.000 semalam.” Kenangnya. Telepon dan berbagai alat komunikasi memang diibaratkan cangkulnya buat cari makan. Karena peralatan tersebut membantu memudahkan untuk bertransaksi ke seluruh dunia, memantau pasar yang berjalan 24 jam sehari, juga melihat kerugian dan keuntungan uangnya. “Tapi hidup saya tak habis di sana. Apa lagi saya harus membagi pengetahuan kepada banyak orang. Saya hanya menghitung, biar orang lain yang dapat keuntungan.” Ungkapnya.
Theo hanya bekerja dari rumah, ia tak terikat pada aturan dan jadwal kerja yang pasti. Ia adalah pegawai bagi dirinya sendiri, dan juga pegawai yang mengantar anak-anak ke sekolah, menemani mereka bepergian, bahkan mendampingi saat mereka mau tidur. Theo beranggapan bahwa anak-anak lebih memerlukan kebersamaan ketimbang uang. Baginya anak-anak pula yang menghadirkan cerita unik bagi perjalanan hidupnya. Baginya, anak-anak adalah segalanya. rekan sepanjang hidup, sekaligus rem manakala dirinya terlalu keasyikan bermain uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar